Oleh : Fajar Kurnianto
Majalah GATRA, edisi 24 – 30 Mei 2012
Judul : Agama Punya Seribu Nyawa
Penulis : Komaruddin Hidayat
Penerbit : Noura Books, Jakarta
Cetakan : I, April 2012
Tebal : xxv+308 halaman
ISBN : 978-602-9498-00-4
Walau kerap diganggu pemikiran kaum ateis dan ulah kaum fundamentalis, agama tebukti tetap bertahan dari gangguan itu. Menggagas upaya beragama dalam keberagaman.
Henri-Louis Bergson, filsuf Prancis kenamaan (1859-1941), pernah mengatakan, “Bisa saja berkurang apa saja yang kita sukai dari kenikmatan hidup, tetapi mustahil agama dapat menghilang dari kehidupan manusia. Bisa jadi dahulu atau masa kini kita menemukan masyarakat yang tidak mengenal ilmu pengetahuan atau seni, atau filsafat, tetapi tidak ada masyarakat yang tanpa agama.”
Bergson tampaknya benar. Fakta sejarah sejak ribuan tahun yang lampau hingga kini menunjukkan bagaimana keberadaan agama di tengah umat manusia. Dengan berbagai dinamika kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat yang heterogen di berbagai belahan dunia, agama tetap banyak penganutnya.
Bagaimana dengan masa depan agama? Karen Armstrong dalam bukunya, Masa Depan Tuhan (Mizan, 2011) dengan nada optimistik menegaskan, agama punya masa depan yang baik. Meski “dibajak” kaum fundamentalis yang menampakkan agama dalam wajah yang garang atau “diinterupsi” oleh pemikiran para tokoh ateis, semacam Nietzche, hingga Richard Dawkins dan Sam Harris, agama tetap bisa menjawab dua “pengganggu” itu.
Komaruddin Hidayat, yang kini Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, menyebutkan bahwa agama memiliki seribu nyawa. Sealur dengan pemikiran Armstrong yang optimis atas masa depan agama, Komaruddin mengungkapkan pandangan-pandangan reflektifnya terhadap fenomena atau ekspresi-ekspresi keberagamaan saat ini yang ia amati.
Salah satu fungsi utama agama, menurut Komaruddin, adalah menjadi pelita kehidupan. Meskipun terdapat banyak agama, baik agama samawi (wahyu) maupun ardhi (agama nonwahyu), ia tetap merupakan pelita kehidupan. Dalam pluralitas agama dan aliran ini, kata Komaruddin, tidak relevan mempertanyakan mana agama atau aliran yang paling benar. Dalam ungkapan metafora, ia menyebut ragam agama dan mazhab itu laksana ratusan sungai yang mengalir dari berbagai penjuru arah, melewati berbagai daratan, lembah dan pegunungan yang berbeda-beda, tapi muaranya satu, yaitu samudra (laut).
Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan keburukan kepada pemeluknya. Semuanya mengajarkan kebaikan, baik itu kebaikan terhadap sesama maupun lingkungan sekitar. Semuanya juga menjanjikan kebahagiaan hidup tidak hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Semuanya membimbing manusia ke jalan yang benar. Karena itu, penghormatan dan penghargaan terhadap agama lain mesti dikedepankan. Inilah titik persamaan yang paling inti dari agama-agama itu. Pemaksaan terhadap seseorang untuk masuk ke dalam suatu agama tertentu, jelas tidak bisa dibenarkan.
Penghargaan dan penghormatan terhadap agama lain akan dapat diterapkan jika masing-masing pemeluk agama memahami domain agama. Menurut Komaruddin, ada empat domain agama. Pertama, domain pribadi. Pada domain ini, seseorang memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk meyakini dan mengembangkan keyakinan agamanya. Pada domain inilah ketulusan dan keikhlasan dalam beriman diuji.
Kedua, domain jamaah (komunal). Pada domain ini, paham keagamaan dan iman seseorang terbentuk dan terbina secara efektif. Pada domain ini, idiom dan simbol agama secara eksklusif bebas dikemukakan, karena pesertanya bersifat homogen dan eksklusif. Ketiga, domain sosial. Pada domain ini, komunitas sebuah agama akan bertemu dengan komunitas agama lain. Dalam ranah sosial ini, yang berlaku adalah hukum negara (hukum positif).
Keempat, domain negara. Pada domain ini, agama kerap berwajah ganda. Di satu wajah agama ingin menegakkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan politik, tapi di wajah lain terlihat haus dan kadangkala seram serta menakutkan karena agenda utamanya adalah menjadikan negara sebagai negara-agama (teokrasi). Kalaupun tidak demikian, doktrin-doktrin agama dijadikan regulasi atau hukum positif yang mengikat semua. Dalam konteks negara yang berdasarkan Pancasila, upaya menjadikan negara-agama tidak bisa dibenarkan.
Buku ini mengajak kita untuk melihat agama dengan berbagai ragam ekspresi penganutnya dalam perspektif positif dan kritis. Positif berarti menjadikan nilai-nilai agama sebagai kekuatan progresif-konstruktif bagi kemajuan dan kemaslahatan umat manusia. Kritis berarti menyikapi berbagai ekspresi keagamaan yang destruktif dan menyimpang dari nilai-nilai luhur agama agar kembali pada nilai-nilai agama yang sesungguhnya. Agama dapat bertahan hingga kini tak lain karena nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.