Refleksi atas Kehidupan Beragama

Oleh : Fajar Kurnianto
Majalah GATRA, edisi 24 – 30 Mei 2012

Judul : Agama Punya Seribu Nyawa
Penulis : Komaruddin Hidayat
Penerbit : Noura Books, Jakarta
Cetakan : I, April 2012
Tebal : xxv+308 halaman
ISBN : 978-602-9498-00-4

Walau kerap diganggu pemikiran kaum ateis dan ulah kaum fundamentalis, agama tebukti tetap bertahan dari gangguan itu. Menggagas upaya beragama dalam keberagaman.

Henri-Louis Bergson, filsuf Prancis kenamaan (1859-1941), pernah mengatakan, “Bisa saja berkurang apa saja yang kita sukai dari kenikmatan hidup, tetapi mustahil agama dapat menghilang dari kehidupan manusia. Bisa jadi dahulu atau masa kini kita menemukan masyarakat yang tidak mengenal ilmu pengetahuan atau seni, atau filsafat, tetapi tidak ada masyarakat yang tanpa agama.”

Bergson tampaknya benar. Fakta sejarah sejak ribuan tahun yang lampau hingga kini menunjukkan bagaimana keberadaan agama di tengah umat manusia. Dengan berbagai dinamika kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat yang heterogen di berbagai belahan dunia, agama tetap banyak penganutnya.

Bagaimana dengan masa depan agama? Karen Armstrong dalam bukunya, Masa Depan Tuhan (Mizan, 2011) dengan nada optimistik menegaskan, agama punya masa depan yang baik. Meski “dibajak” kaum fundamentalis yang menampakkan agama dalam wajah yang garang atau “diinterupsi” oleh pemikiran para tokoh ateis, semacam Nietzche, hingga Richard Dawkins dan Sam Harris, agama tetap bisa menjawab dua “pengganggu” itu.

Komaruddin Hidayat, yang kini Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, menyebutkan bahwa agama memiliki seribu nyawa. Sealur dengan pemikiran Armstrong yang optimis atas masa depan agama, Komaruddin mengungkapkan pandangan-pandangan reflektifnya terhadap fenomena atau ekspresi-ekspresi keberagamaan saat ini yang ia amati.

Salah satu fungsi utama agama, menurut Komaruddin, adalah menjadi pelita kehidupan. Meskipun terdapat banyak agama, baik agama samawi (wahyu) maupun ardhi (agama nonwahyu), ia tetap merupakan pelita kehidupan. Dalam pluralitas agama dan aliran ini, kata Komaruddin, tidak relevan mempertanyakan mana agama atau aliran yang paling benar. Dalam ungkapan metafora, ia menyebut ragam agama dan mazhab itu laksana ratusan sungai yang mengalir dari berbagai penjuru arah, melewati berbagai daratan, lembah dan pegunungan yang berbeda-beda, tapi muaranya satu, yaitu samudra (laut).

Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan keburukan kepada pemeluknya. Semuanya mengajarkan kebaikan, baik itu kebaikan terhadap sesama maupun lingkungan sekitar. Semuanya juga menjanjikan kebahagiaan hidup tidak hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Semuanya membimbing manusia ke jalan yang benar. Karena itu, penghormatan dan penghargaan terhadap agama lain mesti dikedepankan. Inilah titik persamaan yang paling inti dari agama-agama itu. Pemaksaan terhadap seseorang untuk masuk ke dalam suatu agama tertentu, jelas tidak bisa dibenarkan.

Penghargaan dan penghormatan terhadap agama lain akan dapat diterapkan jika masing-masing pemeluk agama memahami domain agama. Menurut Komaruddin, ada empat domain agama. Pertama, domain pribadi. Pada domain ini, seseorang memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk meyakini dan mengembangkan keyakinan agamanya. Pada domain inilah ketulusan dan keikhlasan dalam beriman diuji.

Kedua, domain jamaah (komunal). Pada domain ini, paham keagamaan dan iman seseorang terbentuk dan terbina secara efektif. Pada domain ini, idiom dan simbol agama secara eksklusif bebas dikemukakan, karena pesertanya bersifat homogen dan eksklusif. Ketiga, domain sosial. Pada domain ini, komunitas sebuah agama akan bertemu dengan komunitas agama lain. Dalam ranah sosial ini, yang berlaku adalah hukum negara (hukum positif).

Keempat, domain negara. Pada domain ini, agama kerap berwajah ganda. Di satu wajah agama ingin menegakkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan politik, tapi di wajah lain terlihat haus dan kadangkala seram serta menakutkan karena agenda utamanya adalah menjadikan negara sebagai negara-agama (teokrasi). Kalaupun tidak demikian, doktrin-doktrin agama dijadikan regulasi atau hukum positif yang mengikat semua. Dalam konteks negara yang berdasarkan Pancasila, upaya menjadikan negara-agama tidak bisa dibenarkan.

Buku ini mengajak kita untuk melihat agama dengan berbagai ragam ekspresi penganutnya dalam perspektif positif dan kritis. Positif berarti menjadikan nilai-nilai agama sebagai kekuatan progresif-konstruktif bagi kemajuan dan kemaslahatan umat manusia. Kritis berarti menyikapi berbagai ekspresi keagamaan yang destruktif dan menyimpang dari nilai-nilai luhur agama agar kembali pada nilai-nilai agama yang sesungguhnya. Agama dapat bertahan hingga kini tak lain karena nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Metamorfosis dan Dilema PKS

Oleh : Fajar Kurnianto
Bisnis Indonesia, Minggu 20 Mei 2012

Judul : Dilema PKS, Suara dan Syariah
Penulis : Burhanuddin Muhtadi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Tahun : I, 2012
Tebal : xxviii+307 halaman
ISBN : 978-979-91-0438-0

Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK), di kancah perpolitikan nasional menjadi salah satu fenomena menarik.

Lahir dari sebuah gerakan sosial berbasis keagamaan (Islam), yakni harakah Jamaah Tarbiyah, kemudian menemukan momentum politiknya ketika rezim Orde Baru (Orba) tumbang pada 1998.

Setelah itu, partai tersebut mengambil jalan politik praktis. Memperjuangkan cita-cita ideologis gerakannya melalui jalur politik. Seperti AKP di Turki, PAS di Malaysia, JAI di Yordania, dan PJD di Maroko.

Buku Burhanuddin Muhtadi, peneliti di Lembaga Survei Indonesia (LSI) sekaligus dosen politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, ini coba membaca metamorfosis PKS dari gerakan Islam, yang ruang dan geraknya terbatasi, menjadi partai politik setelah Orba tumbang. Berbeda dengan studi-studi tentang PKS yang melihat PKS dari ideologi atau strateginya, Burhanuddin melihat PKS dari perspektif gerakan sosial.

Mirip dengan yang dilakukan peneliti-peneliti Barat, seperti Quintan Wictorowicz, Charles Kurzman, Carrie Wickham dan Emmanuel Karegiannis yang menggunakan teori-teori gerakan sosial untuk membedah gerakan salafisme, Hizbut Tahrir, dan Ikhwanul Muslimin.

Gerakan Islam di Indonesia pada umumnya dapat dibagi dua: gerakan yang prodemokrasi dan yang kontrademokrasi. Gerakan Islam prodemokrasi yakni gerakan Islam yang tidak menentang demokrasi, tapi memanfaatkan demokrasi sebagai jalan untuk mencapai tujuan-tujuan gerakan.

Adapun gerakan yang kontrademokrasi adalah gerakan yang memang ingin mengubah sistem demokrasi dengan sistem Islam formal. Gerakan ini umumnya tidak terlibat dalam politik praktis (apolitis), dengan mendirikan partai politik, misalnya, tapi tetap menjadi gerakan di luar politik di luar pagar.

Gerakan ini juga terbagi dua; ada yang menempuh jalan kekerasan, ada yang menempuh jalan lunak.

Tiga Tahap

PKS sendiri muncul setelah melalui tiga tahap perkembangan. Pertama, gerakan dakwah kampus. Munculnya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang dipelopori Muhammad Natsir, tokoh dan elit Masyumi, tahun 1967, memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini.

Kedua, pelembagaan gerakan mahasiswa. Di sini, dakwah kampus bermetamorfosis menjadi unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang resmi, yaitu Lembaga Dakwah Kampus (LDK). KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), lahir dari LDK ini.

Ketiga, gerakan politik. PKS terbentuk pertama kali dengan nama PK untuk ikut dalam Pemilu 1999. Partai ini didirikan oleh tokoh-tokoh KAMMI.

Pada Pemilu 1999, PK gagal karena hanya memperoleh 1,3 persen, sehingga tidak bisa ikut Pemilu berikutnya. PK lalu menjadi PKS pada Pemilu 2004, dan berhasil mendapat 7,34 persen suara.

Tampaknya, PKS sudah banyak belajar dari pengalaman Pemilu 1999. Eksklusivisme PK disinyalir menjadi penyebabnya. Pada Pemilu 2009, PKS menempuh strategi politik inklusif, yakni menjadi partai terbuka, dan hasilnya cukup memuaskan.

Hal ini menggoda PKS untuk melanjutkan strategi inklusif di Pemilu selanjutnya. Namun, di internal PKS muncul begitu banyak pertentangan, terutama dari kalangan senior, perintis PKS dan kader-kader militan PKS. PKS dihadapkan pada dilema strategi politik.

Mendayung di antara dua karang, ini yang disebut Burhanuddin sebagai dilema antara suara dan syariah di PKS. Apakah tetap mempertahankan strategi representasi basis sosial ataukah mengincar target pemilih yang lebih luas.

PKS di basis sosialnya memang lahir dari gerakan Islam konservatif eksklusif. Untuk menjadi partai terbuka jelas bukan perkara mudah. Tapi, dalam politik praktis, dukungan suara sangatlah penting.

Realitas PKS menunjukkan bahwa ketika partai menjadi inklusif, perolehan suara langsung melonjak. Gambaran PKS menjadi bukti kuat makin tidak diminatinya partai-partai eksklusif berbasis keagamaan (baca: partai-partai Islam).

Buku setebal 307 halaman ini cukup berharga untuk melihat gerakan Islam politik mutakhir di Indonesia.

Paradoks Kebangkitan Ekonomi China

Oleh : Fajar Kurnianto
Seputar Indonesia, Minggu 6 Mei 2012

Judul : Kartu Pos dari Tomorrow Square, Liputan dari China
Penulis : James Fallows
Penerbit : Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2012
Tebal : 327 halaman
ISBN : 978-602-00-2001-3

China hari ini menjadi salah satu kekuatan besar dunia, pesaing berat Barat (Amerika dan Eropa). Kiblat ekonomi tidak lagi ke Barat, tapi ke China. Bahkan, dalam beberapa hal, kekuatan ekonomi dunia terbelah; Barat dan China. Barat yang selama ini mendominasi mulai merasa khawatir kebangkitan China bisa “menggoyang” kemapanan Barat. Tanda-tanda ke arah itu begitu jelas terlihat. Beberapa kali terjadi “ketegangan” antara Barat dan China. Menjadi semacam “perang dingin” yang dulu pernah terjadi antara Soviet dan Barat.

Bagaimana sebetulnya kebangkitan ekonomi China yang membuat Barat ketar-ketir dan apa yang terjadi sesungguhnya di China? James Fallows, koresponden The Atlantic Monthly, memberikan gambaran tentang kebangkitan dan kenyataan secara lebih dekat dan detail. Sejak tahun 2006 hingga 2008, Fallows dan keluarganya berada di Beijing, China, untuk melihat dari dekat China yang begitu dikhawatirkan dunia. Selama rentang waktu itu, tulisan-tulisannya tentang China memperlihatkan wajah China yang sesungguhnya, yang membuka mata dunia. Baik itu dari sisi ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Sejak Deng Xiaoping menggantikan Mao Zedong yang wafat tahun 1976, China memang melakukan revolusi besar-besaran. Jika di era Mao ada yang disebut dengan Revolusi Budaya, di era Deng adalah revolusi ekonomi politik dengan tetap berpijak pada konsepsi komunis model Mao. China ingin bermimpi menjadi “pemain baru” di dunia dengan slogan “kebangkitan secara damai di dunia”. Sektor ekonomi digenjot habis-habisan untuk mengejar ketertinggalan. Model politik satu partai, yakni partai komunis China, menjadi pendukung utama reformasi ekonomi, karena stabilitas politik terjaga.

Di beberapa kota berdiri begitu banyak pabrik dengan corong-corong asap hitam yang membuat polusi udara. Sampai-sampai disebutkan, China termasuk penyumbang emisi gas karbon terbesar di dunia selain Amerika. Fallows misalnya memberikan gambaran salah satu kota industri paling sibuk di China, yaitu Shenzhen, berada dekat di utara Hong Kong. Ini termasuk kota industri manufaktur di pesisir seperti halnya Xiamen, Guangzhou, Hangzhou, dan Shanghai yang memang sudah terkenal sejak lama. Kisah kebangkitan Shenzhen berada di babak pertama dalam masa industrialisasi China modern.

Liputan media setempat seperti dikutip Fallows menyebutkan, “Selama masa berdirinya, masyarakat Shenzhen berani dan kukuh menghancurkan nilai-nilai lama yang mengukung”. Dengan reformasi yang berorientasi pasar sebagai poin terobosan, mereka mengocok perekonomian secara terencana, yang secara perlahan-lahan membangun sistem manajemen yang baru (hlm. 99). Shenzhen diakui sebagai “zona ekonomi khusus”, di mana hanya sedikit batasan atau kontrol yang diberlakukan, dan bisnis dari seluruh dunia diundang untuk mendirikan toko. Hampir semua aturan yang menghambat perkembangan bisnis diubah atau dihapus di Shenzhen.

Namun, berbagai kemajuan yang dicapai China di bidang ekonomi, ternyata ada semacam paradoks di sisi lain. Dalam hal ekonomi, China memang membuka diri, menjadi bagian dari pemain kapitalis dunia, ekonomi pro pasar, tapi tidak dengan kebebasan mengakses informasi tentang sosial-politik China. China tetaplah China yang tertutup, terutama jika itu berkaitan dengan kebebasan memperoleh informasi melalui media internet. Di China ada yang disebut dengan “Great Firewall” semacam dinding penutup akses terhadap isu-isu sensitif terkait China. Misalnya, isu Tibet atau Tiananmen tahun 1989. Bahkan, ketika China menyelenggarakan Olimpiade Beijing tahun 2008 yang diharapkan membuat China lebih terbuka perihal informasi, ternyata tidak terjadi. Isu-isu sensitif itu tetap tidak bisa diakses, karena sepenuhnya berada dalam kontrol pemerintah.

Jika Barat saat ini tampak begitu mengkhawatirkan kebangkitan China, buku ini menganggap kekhawatiran tersebut sebagai hal yang terlalu dini dan berlebihan. China memang tengah bangkit secara ekonomi dan menjadi kekuatan dunia. Tapi dengan ketertutupan pemerintah dalam soal akses informasi, justru ini menjadi masalah bagi China. Belum lagi jika melihat kondisi ril masyarakat China, terutama di wilayah bagian barat, seperti diungkapkan Fallows, di mana kemajuan ekonomi masih belum menyentuh ke sana. Jadi, China tidak hanya dihadapkan pada masalah dunia, dengan negara-negara ekonomi maju (Barat) tapi juga dihadapkan dengan persoalan dalam negeri, dengan masyarakat di belahan barat China yang belum tersentuh industrialisasi.

Keteguhan Memegang Prinsip

Oleh : Fajar Kurnianto
Bisnis Indonesia, Minggu 6 Mei 2012

Judul : Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal
Penulis : Tariq Suwaidan
Penerbit : Zaman, Jakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : 500 halaman
ISBN : 978-979-024-197-8

Dalam sejarah pemikiran Islam, nama Ahmad bin Hanbal (781-855 M) sudah tidak asing. Selain dikenal sebagai ahli hadis, dia juga dikenal sebagai ahli teologi (kalam) dan jurisprudensi Islam (fikih).

Namanya sejajar dengan tokoh-tokoh jurisprudensi Islam lainnya, seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Imam Syafii. Tiga tokoh ini dikenal punya corak pemikiran fikih yang khas yang disebut dengan mazhab. Ahmad bin Hanbal juga punya mazhab sendiri yang dikenal dengan mazhab Hanbali.

Buku yang ditulis oleh Dr. Tariq Suwaidan, interprener dan pemikir muslim moderat asal Kuwait, ini coba mengetengahkan sosok Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh pemikir Islam pada zamannya yang luar biasa.

Poin Menarik

Dia merupakan tokoh yang dihormati banyak orang tapi pada saat yang sama juga tidak disukai penguasa hanya karena berbeda pemikiran. Tidak hanya itu, bahkan Ahmad mendapat perlakuan menyakitkan; dia diteror, ditekan, diintimidasi, bahkan sampai disiksa secara fisik oleh penguasa.

Namun begitu, dia tetap teguh memegang apa yang diyakininya, kokoh dengan pemikirannya. Inilah salah satu poin menarik dari buku ini.

Penguasa yang tidak toleran terhadap keyakinan dan pemikiran Ahmad bin Hanbal yang berbeda itu bernama Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M), penguasa dari Dinasti Abbasiyah, pengganti Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M).

Al-Ma’mun ini sosok rasionalis, tertarik dengan pemikiran-pemikiran dari kelompok yang disebut dengan Muktazilah. Berbeda dengan pendahulunya, Harun Al-Rasyid yang skripturalis.

Bahkan, Al-Ma’mun menjadikan pemikiran-pemikiran Muktazilah sebagai mazhab resmi pemerintah. Sebenarnya, kalau sebatas itu, tidak masalah. Namun, masalahnya adalah mazhab tersebut dipaksakan kepada masyarakat melalui kekuasaan.

Masyarakat yang plural dari segi keyakinan dan pemikiran diharuskan mengikuti pemikiran Muktazilah. Penguasa ingin memaksakan satu pemikiran, yakni pemikiran Muktazilah.

Bahkan, untuk memaksakan pemikiran ini jalan kekerasan ditempuh penguasa. Nah, Ahmad bin Hanbal menjadi salah satu korban dalam konteks ini. Dia seorang skripturalis sejati. Apa yang tertera dalam teks Kitab Suci (Al-Quran) atau hadis-hadis Nabi, itulah yang harus diambil apa adanya.

Berbeda dengan kaum rasionalis yang meletakkan teks di bawah rasio. Teks yang bertentangan dengan rasio, berarti teks itu harus disisihkan, bahkan—kalau perlu—dibuang.

Pangkal dari dua kutub pemikiran yang berbeda antara skripturalis dan rasionalis sebetulnya terletak pada bagaimana memahami kedudukan Kitab Suci. Kaum skripturalis menganggap Kitab Suci sebagai kalam atau ucapan Tuhan yang inheren dengan Tuhan, tidak bisa dipisahkan.

Adapun kaum rasionalis menganggap bahwa Kitab Suci itu tidak inheren dengan Tuhan, tapi di luar Tuhan, sehingga tidak identik dengan Tuhan.

Buku ini selain menggambarkan keteguhan seorang Ahmad bin Hanbal juga memberikan pesan betapa berbahayanya jika suatu pemikiran atau keyakinan agama dipaksakan terhadap masyarakat melalui tangan-tangan kekuasaan.

Sebuah keyakinan atau pemikiran setiap orang berbeda, karena landasan epistemologinya tidak sama. Kebebasan berpendapat dan berkeyakinan akan terancam manakala suatu pemikiran keagamaan yang sebetulnya masih multitafsir tapi kemudian dilegalkan menjadi sebuah regulasi atau undang-undang negara yang mengikat dan memaksa semua orang tanpa kecuali. Sejarah Ahmad bin Hanbal menjadi salah satu pelajaran berharga agar tidak terjadi di negeri ini.

Kolaborasi Ahli Hadis Besar Sepanjang Masa

Oleh : Fajar Kurnianto
Alumnus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Judul : Kitab Shahih Al-Bukhari & Muslim
Penulis : Imam Bukhari dan Imam Muslim
Penyusun : Ahmad Ali, Lc. (Alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir)
Penerbit : Alita Aksara Media, Depok
Cetakan : I, Februari 2012
Tebal : xxxvi+868 halaman
ISBN : 978-602-9289-03-9
Harga : Rp.250.000,-

Nama Imam Bukhari dan Muslim di dunia Islam sudah tidak asing lagi. Yang pertama penyusun kitab hadis bernama Shahih Al-Bukhari, yang kedua penyusun kitab hadis juga bernama Shahih Muslim. Dua kitab hadis besar sepanjang masa yang menginspirasi penulisan kitab hadis setelahnya secara lebih masif dan antusias. Dengan tingkat akurasi dan otentisitas yang tinggi, kedua kitab tersebut dalam hirarki kitab-kitab hadis berada di posisi pertama, dan sejajar. Ada ulama yang menyebut Shahih Al-Bukhari lebih unggul, ada pula yang berpendapat sebaliknya.

Nama lengkap Imam Bukhari adalah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi, biasa dipanggil dengan sebutan Abu Abdullah. Ia dilahirkan pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at, 13 Syawal 194 H, di Bukhara (Bukarest). Ketika masih kecil, ayahnya, yaitu Isma’il, sudah meninggal sehingga dia pun diasuh sang ibu. Disebutkan, ketika kecil, kedua mata Bukhari buta. Suatu ketika ibunya bermimpi melihat Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Ibu, sesungguhnya Allah telah memulihkan penglihatan putramu karena banyaknya doa yang kamu panjatkan kepada-Nya.” Pagi harinya dia dapati penglihatan anaknya telah sembuh.

Sementara nama lengkap Imam Muslim adalah Abul Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Warad bin Kausyaz Al-Qusyairi An-Naisaburi. Al-Qusyairi di sini merupakan nisbah terhadap nasab (silsilah keturunan), dan An-Naisaburi merupakan nisbah terhadap tempat kelahirannya, yaitu Naisabur, bagian dari Persia yang sekarang menjadi bagian dari negara Rusia. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Katsir, dan Khazraji mengatakan bahwa Muslim lahir pada tahun 204 H dan wafat pada tahun 261 H. Ada yang berpendapat lahir tahun 206 H. Demikian pendapat Abu Abdullah Al-Hakim An-Naisaburi dan disetujui Imam Nawawi.

Tentang sosok Imam Bukhari, Abu Mush’ab Ahmad bin Abu Bakar Az-Zuhri berkomentar, “Muhammad bin Isma’il (Bukhari) lebih fakih dan lebih mengerti hadis dalam pandangan kami daripada Imam Ahmad bin Hanbal.” Salah seorang teman duduknya berkata kepadanya, “Kamu terlalu berlebihan.” Abu Mush’ab justru mengatakan, “Seandainya aku bertemu dengan Malik dan aku pandang wajahnya dengan wajah Muhammad bin Isma’il niscaya aku akan mengatakan: Kedua orang ini setara dalam hal hadis dan fikih.”

Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Negeri Khurasan belum pernah melahirkan orang yang seperti Muhammad bin Isma’il.” Bundar Muhammad bin Basyar mengatakan, “Dia adalah makhluk Allah yang paling fakih di zaman kami.” Rasyid bin Isma’il menceritakan: Ketika aku berada di Bashrah, aku mendengar kedatangan Muhammad bin Isma’il. Ketika dia datang, Muhammad bin Basyar pun mengatakan, “Hari ini telah datang seorang pemimpin para fukaha.” Imam Muslim bin Hajjaj mengatakan, “Aku bersaksi bahwa di dunia ini tidak ada orang yang seperti dirimu (yaitu seperti Bukhari).”

Tentang sosok Imam Muslim, Muhammad bin Basyar, salah satu guru Imam Muslim, mengatakan, “Ada empat orang yang hafalan hadisnya paling hebat di dunia ini: Abu Zur’ah dari Ray, Muslim bin Hajjaj dari Naisabur, Abdullah bin Abdurrahman Ad-Darimi dari Samarkand, dan Muhammad bin Isma’il dari Bukhara.” Ahmad bin Salamah berkata, “Aku melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim Ar-Razi mengutamakan pendapat Muslim dalam mengenali keshahihan hadis dibanding para syaikh lain di masa mereka hidup.” Ishaq bin Manshur Al-Kausaz pernah berkata kepada Imam Muslim, “Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah masih menghidupkan anda di kalangan muslimin.”

Komentar-komentar para ulama membuktikan intelektualitas Imam Bukhari dan Muslim tidak hanya dalam bidang hadis, tapi juga bidang fikih. Hingga saat ini, Shahih Al-Bukhari, karya Imam Bukhari; dan Shahih Muslim, karya Imam Muslim, menjadi rujukan utama umat Islam dalam mengetahui hadis-hadis Nabi. Ibnu Hajar Al-Asqalani kemudian membuat syarah (penjelas) terhadap hadis-hadis dalam Shahih Al-Bukhari dengan nama Fathul Bari. Demikian juga dengan Imam Nawawi yang membuat kitab syarah untuk Shahih Muslim dengan nama Syarah Shahih Muslim. Inilah dua kitab babon dalam hadis dan dua kitab babon dalam syarah hadis hingga saat ini yang belum ditemukan padanannya. Seluruh ulama Suni dipastikan merujuk ke empat kitab ini.

Buku Kitab Shahih Al-Bukhari & Muslim ini merupakan perpaduan atau kombinasi—bisa jadi kolaborasi—dari dua kitab hadis mereka berdua. Satu hadis dalam Shahih Al-Bukhari diikuti dengan hadis yang redaksinya mirip atau sedikit berbeda dari Shahih Muslim. Demikian seterusnya hingga akhir. Dari dua kombinasi ini bisa diketahui ada hadis yang menguatkan dan melengkapi. Dengan tema-tema yang telah dipilih berdasarkan kebutuhan pembaca yang akrab dengan keseharian, buku ini memberi warna yang lebih segar, dan pembaca tidak perlu berlama-lama membaca buku dengan tema yang sama tapi terlalu tebal. Terkadang, ketebalan tidak selalu merupakan kebutuhan. Di era yang serba praktis seperti saat ini, kebutuhan terhadap hal yang praktis tanpa menghilangkan substansi dan urgensi, cukup tinggi.

Buku ini tidak ditujukan terbatas hanya pada para peneliti atau pegiat studi hadis di kalangan akademis. Tapi umum bagi masyarakat muslim yang ingin mengetahui secara mendalam hadis-hadis Nabi. Karena kebutuhan terhadap hadis sama besarnya dengan keperluan terhadap Alquran. Dalam banyak hal, Alquran membutuhkan hadis. Alquran tidak selalu bisa dipahami secara tekstual tanpa menyertakan hadis. Seluruh Alquran dapat dipastikan turun dalam situasi yang kemudian terekam dalam hadis. Dalam kenyataan, tidak semua ayat punya apa yang dalam studi Ilmu Alquran disebut dengan Asbabun Nuzul, ini bukan berarti tidak ada hadis yang merekamnya. Bisa jadi periwayat tidak menuliskan atau mengabarkan. Atau bisa jadi karena ketika itu bukan hal urgen untuk dicatat.

Poin menarik dari buku ini selain karena ketokohan Imam Bukhari dan Imam Muslim serta kedua karya mereka, juga karena kolaborasi mereka yang terangkai secara konsisten dari awal hingga akhir. Kolaborasi spesial. Satu saja sudah spesial, apalagi dua; double special tentu saja. Ada kesegaran yang akan pembaca rasakan ketika membaca lembar demi lembar buku ini. Orang akan melihat langsung hadis koleksi Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dalam sekali baca. Berbeda dengan buku yang terpisah, meski barangkali kesannya lebih independen dan lengkap. Boleh saja buku ini disebut sebagai ringkasan, tapi bukan sembarang ringkasan. Ini ringkasan yang memberi nuansa baru, karena pembaca disuguhi hadis hasil koleksi Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam satu buku. Ini menariknya. Selamat membaca karya besar, duet dari dua tokoh ahli hadis besar sepanjang masa hingga akhir zaman.