Mengkritisi Budaya Komunikasi dan Media

Oleh : Fajar Kurnianto
Bisnis Indonesia, Minggu 11 September 2011

Judul : Kritik Budaya Komunikasi; Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia
Penulis : Idi Subandy Ibrahim
Penerbit : Jalasustra, Yogyakarta
Tahun : I, Mei 2011
Tebal : xviii+376 halaman

Media massa, khususnya elektronik seperti televisi, memiliki peran yang sangat vital dalam mempengaruhi, mengubah, atau bahkan membentuk dan menciptakan budaya.

Peran yang sesungguhnya sangat diharapkan bisa membangun budaya yang sehat. Namun, sayangnya, media justru mengambil jalan lain, tidak seperti yang diharapkan. Media lebih mementingkan dirinya sendiri, mengabaikan peran vitalnya. Di titik inilah, kritik terhadap media perlu dilakukan.

Buku Idi Subandy Ibrahim ini berupaya menghidupkan sikap kritis terhadap budaya komunikasi dan media dalam konteks perjalanan demokratisasi bangsa ini sekarang. Kritik seperti ini sangat diperlukan.

Tanpa sikap kritis, media alih-alih berperan menjadi pembangun, justru menjadi perusak bangsa. Douglas Kellner (1995), seperti dikutip Idi, mengatakan budaya media telah muncul dalam bentuk citra, bunyi, dan tontonan yang membantu membangun struktur kehidupan sehari-hari, mendominasi waktu luang, membentuk pandangan politik, dan perilaku sosial, serta menyediakan bahan bagi kita untuk membangun identitas.

Menurut Idi, ada dua corak budaya komunikasi dan media yang menonjol berlangsung dalam proses demokratisasi di Indonesia.

Pertama, budaya media yang berpusat pada media itu sendiri. Sebagai entitas bisnis, media tertentu telah cenderung menekankan pada keuntungan bisnis semata. Logika komersialisme pers dan komodifikasi berita telah menjadi primadona dalam cara berpikir pengelola pers dan jurnalis. Pers diarahkan menjadi mesin pencetak uang, pemasok iklan, dan pemburu rating. Dalam logika budaya semacam ini jelas sulit kita menempatkan kepentingan publik di atas atau setara dengan kepentingan modal dan kuasa.

Kedua, budaya media yang berpusat pada publik. Sebagai entitas ideal, media sesungguhnya bisa menjadi kekuatan penting dalam pembentukan budaya pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, pendidikan dan lingkungan hidup yang sehat.

Logika bahwa pers sebagai kekuatan signifikan dalam proses demokratisasi memungkinkan pers berada di garis depan dalam menyuarakan kritik terhadap dekadensi dan degradasi budaya yang berlangsung dalam ruang publik.

Dalam kondisi kehidupan demokrasi yang tidak sehat dan ruang publik yang tidak fair serta budaya masyarakat sipil yang belum matang, peran media amat dibutuhkan dalam pembelajaran publik akan arti penting budaya kewargaan yang menjunjung tinggi hukum dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia (hlm. 2).

Dominasi Televisi

Media televisi, yang Idi ulas di buku ini, tidak disangsikan kini telah mendominasi waktu luang kebanyakan orang Indonesia. Televisi menjadi sumber informasi politik dan dalam satu dan lain hal sebagai rujukan budaya dan nilai bagi sebagian orang.

Kekuatan televisi terletak pada kemasifan, keseketikaan, dan pesona citra serta jangkauannya yang luas. Dibandingkan jenis media lain, televisi begitu mudah dikonsumsi/ditonton, karena dengan hanya menekan tombol dan memilih saluran, ia langsung bisa hadir ke dalam rumah dan dinikmati keluarga Indonesia. Media ini bahkan dianggap sebagai ‘agama’ dan ‘tuhan’ sekuler.

Salah satu yang mencemaskan adalah tayangan kekerasan, selain hedonisme. Dalam teks dan imajinasi budaya pop, kata Idi, pementasan kekerasan dijadikan cara untuk mengomunikasikan pesan peringatan, ancaman, teror, dan horor dari satu kelompok ke kelompok yang lain.

Tidak jarang, kekerasan itu sengaja dipertontonkan sehingga menjadi semacam ‘horrortainment’. Kekerasan dianggap sebagai ‘hiburan’ untuk saluran eskapisme, katarsis, dan bahkan ritualisme. Kekerasan menjadi komoditi pemberitaan dalam bisnis infotainment (hlm. 165).

Buku ini mengajak kita untuk melihat budaya komunikasi dan media secara cermat dan kritis. Pesan buku ini jelas, bahwa kita tidak bisa tinggal diam dan membiarkan media mempengaruhi, mengubah, atau bahkan membentuk dan menciptakan budaya yang tidak sehat bagi bangsa ini yang tengah mematangkan demokrasi.

Kritik terhadap media sekaligus menjadi peringatan bagi media untuk tidak mengabaikan peran konstruktif dan edukatifnya, tidak hanya semata-mata peran hiburannya.

Tinggalkan komentar