Berjuang Demi Harga Diri

Oleh : Fajar Kurnianto
Kompas, Minggu 11 September 2011

Judul : Perang Makassar 1669; Prahara Benteng Somba Opu
Penulis : SM Noor
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, April 2011
Tebal : liv+216 halaman

“Bagi kami, prajurit Gowa, tanggung jawab itu yang harus kami tegakkan. Tanggung jawab terhadap kehormatan dan harga diri.” Ucapan I Makkuruni, perwira muda dari Kampung Bira, menggambarkan dengan jelas sikap prajurit Kerajaan Butta Gowa (Makassar) terhadap VOC pada abad XVII.

Semangat juang prajurit Kerajaan Gowa inilah yang yang coba digambarkan dalam novel sejarah karya SM Noor ini. Dalam novel ini disebutkan ada tiga peperangan Kerajaan Gowa dengan VOC di laut yang semuanya dimenangkan oleh Kerajaan Gowa.

Pertama, konfrontasi di laut Bonerate di bawah pimpinan perwira muda, I Makkuruni dari Bira. Dikisahkan, dalam konfrontasi ini lima kapal VOC tenggelam, sebaliknya dari pihak Gowa hanya satu kapal. Perang ini diangkat sebagai prolog novel untuk memperkenalkan salah satu tokoh utamanya, I Makkuruni, sebagai pahlawan perang yang mengantarkannya menjadi orang penting Kerajaan Gowa. Novel ini juga dibumbui dengan kisah saling mengagumi antara I Makkuruni dan putri Raja Gowa, I Patimang.

Kedua, perang di laut Massalembo di bawah pimpinan Karaeng Issong dan I Makkuruni. Perang ini sebenarnya adalah penyergapan terhadap kapal-kapal VOC pimpinan Kolonel Van Den Lubbers. Pasukan VOC membawa banyak meriam dan amunisi ke Fort Rotterdam di Jumpandang (Ujungpandang). Menurut laporan intelijen Gowa, VOC mempunyai rencana besar untuk menyerang benteng Somba Opu. Alasan lainnya adalah Lubbers ini merupakan pembantai puluhan penduduk pulau Liukang yang menolak membayar pajak. Penduduk Liukang masih setia terhadap Kerajaan Gowa dan tidak mau tunduk kepada VOC.

Penyergapan berhasil dan berhasil dan Lubbers tewas. Padahal, di lingkungan keluarga Kerajaan Gowa, praktis hanya beberapa orang yang mengetahui ada rencana penyergapan ini. Semacam misi rahasia, bahkan raja pun tidak mengetahuinya.

Melawan VOC

Perang ketiga adalah perang di Laut Banda. Perang ini dipicu oleh kemarahan VOC di Batavia akibat penyergapan Kerajaan Gowa atas kapal-kapal VOC di Massalembo yang dianggap sebagai deklarasi perang terhadap VOC. Apalagi setelah mengetahui bahwa Lubbers tewas. Dalam perang ini VOC dipimpin oleh Admiral John Van Dam yang memiliki reputasi tangguh dan pengalaman yang banyak dalam perang-perang melawan Kerajaan Gowa di laut. Karena keberadaan Van Dam inilah, pasukan Gowa mengikutsertakan meriam keramat andalan Kerajaan Gowa bernama “Anak Makassar” buatan para arsitek Prancis yang sangat ditakuti VOC karena ketepatan bidikan dan efek yang ditimbulkannya terhadap sasaran.

Awalnya, Raja Gowa keberatan mengizinkan meriam ini dibawa serta, karena meriam ini adalah tameng utama Somba Opu. Dalam perang ini, Karaeng Intang, Panglima Perang Kerajaan Gowa, menjadi komandan utama, sementara wakilnya adalah Karaeng Issong, sang putra raja.

Perang di laut Banda lebih dahsyat daripada perang sebelumnya. Dengan kekuatan 10.000 prajurit dan 250 kapal, Kerajaan Gowa melawan VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone, Buton, dan Ambon yang memang berhasrat ingin menghancurkan Kerajaan Gowa. Pasukan VOC dan kompanyonnya berjumlah 300 buah kapal dan lebih dari 10.000 prajurit. Dengan sangat dramatis, SM Noor menggambarkan perang di laut Banda ini. Di bawah guyuran hujan deras di Laut Banda, gelombang laut yang besar dan angin yang kencang disertai halilintar dan suara guntur di langit bersahut-sahutan, tembakan-tembakan meriam, denting suara bayonet dan pedang beradu, suara-suara ledakan, lengking jerit kematian, dan kesakitan, terdengar bersahutan. Perang dahsyat di Laut Banda akhirnya dimenangi Kerajaan Gowa, meski salah satu komandan terbaiknya, I Memang, gugur.

Novel sejarah ini menarik, tetapi sayangnya melewatkan bagian penting, di antaranya tidak memberi ulasan memadai perihal perjanjian Bungaya atau Bongaya pada 18 November 1667 antara VOC dan Gowa. Perjanjian ini merupakan “deklarasi kekalahan” Gowa dari VOC dan pengesahan monopoli perdagangan oleh VOC. Selain itu, Sultan Hasanuddin juga tidak terlalu banyak ditampilkan. Tercatat, hanya tiga kesempatan ia ditampilkan. Pertama, ketika ia menerima I Makkuruni di istananya. Kedua, ketika prajurit meminta izin kepadanya agar meriam “Anak Makassar” ikut dibawa serta dalam perang di Laut Banda. Ketiga, saat ia menerima putranya, I Maninroe, yang menyerahkan sebilah badik dan selembar padompe milik I Memang yang gugur di laut Banda.

Novel sejarah ini sejatinya ingin mengangkat perihal kesetiaan dan pengabdian serta spirit para prajurit Kerajaan Gowa demi menjaga harga diri dan kehormatan kerajaan untuk terus melawan VOC meski situasi Gowa sudah cukup terjepit akibat perjanjian Bungaya. Ini soal harga diri, seperti dikatakan oleh I Makkuruni kepada I Patimang beberapa hari sebelum pasukan berangkat ke laut Banda. Inilah juga pesan terakhir I Memang sebelum ia mengembuskan napas terakhirnya dalam perang di laut Banda untuk disampaikan kepada Karaeng Sombangku, Raja Gowa: Hamba begitu bangga dengan pengabdian hamba ini. Katakanlah kepada Karaeng Sombangku Yang Mulia bahwa hamba bangga mati mempertaruhkan harga diri dan martabat Karaeng Sombangku dan keluarga beliau (h. 212).

Tinggalkan komentar